Fenomena Tanah Ambles di Pantura Jateng Patut Diwaspadai

1 Desember 2020, 20:39 WIB
Kepala Pusat Air Tanah dan Geolo.gi Tata Lingkungan Kementerian ESDM Andiani ANTARA/HO-Wisnu Adhi. /

PORTAL BREBES - Sejumlah wilayah di sepanjang jalur pantai utara (Pantura) Jawa Tengah mengalami fenomena penurunan tanah atau tanah ambles.

Bencana geologi berupa penurunan tanah hingga mencapai lebih dari 10 sentimeter per tahun bisa mengakibatkan hilangnya lahan persawahan, tambak, permukiman, serta kegiatan ekonomi masyarakat.

"Berdasarkan kajian yang kami lakukan sejak 2010, terjadi penurunan tanah di pantura seperti Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Kendal, Kota Semarang, dan Kabupaten Demak dengan luasan serta intensitas yang berbeda," kata Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Kementerian ESDM, Andiani di Semarang, Selasa.

Baca Juga: Sepuluh Pegawai Positif Covid-19, Pengadilan Agama Brebes Tutup Sementara Pelayanan

Menurut dia, bencana geologi berupa penurunan tanah hingga mencapai lebih dari 10 sentimeter per tahun itu mengakibatkan hilangnya lahan persawahan, tambak, permukiman, serta kegiatan ekonomi masyarakat.

Diungkapkannya, penyebab dan analisis kondisi penurunan tanah di pantura Jateng ini beragam, sehingga upaya penanggulangannya juga berbeda.

"Penyebab utama amblesan tanah adalah adanya pengambilan air tanah yang banyak dilakukan di sektor industri komersial," ujarnya di sela kegiatan sosialisasi hasil studi geologi terpadu dengan tema "Hidup Berdampingan Dengan Amblesan Tanah Di Pantura Jawa Tengah" Geologi Sebagai Acuan Mitigasi dan Adaptasi Dalam Penataan Ruang.

Andiani menjelaskan bahwa sosialisasi hasil studi geologi terpadu oleh pihaknya ini bertujuan memberikan gambaran mengenai kondisi daerah-daerah yang terindikasi adanya amblesan tanah sehingga diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pemangku kebijakan dalam melakukan mitigasi serta adaptasi.

Baca Juga: Kota Tegal Tiap Hari Memproduksi 250 Ton Sampah

Terkait dengan fenomena penurunan tanah, lanjut dia, Badan Geologi mengimbau kawasan pada daerah tersebut agar tetap mengutamakan penggunaan air permukaan sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019.

"Kalau air tanah digunakan, harus dikendalikan oleh pengelola kawasan industri, baru kemudian didistribusikan kepada industri-industri," katanya.
Menurut dia, hal itu sebagai salah satu cara mengurangi kerusakan air tanah dan untuk menjamin keberlangsungan air tanah hingga 30-50 tahun ke depan.

"Kami juga merekomendasikan dilakukan monitoring amblesan dan kajian di daerah yang tergenang rob secara permanen, artinya pembangunan disesuaikan dengan berapa penurunan tanah yang terjadi di situ," ujarnya.***

Editor: Marsis Santoso

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler