Sejarah dan Syiar Mbah Bujang di Wilayah Kemandungan Tegal

4 Desember 2022, 22:05 WIB
Ilustrasi Raden Bunawa saat bertemu dengan Sunan Panggung /Sari

PORTAL BREBES - Kota Tegal sebagai wilayah pesisir di Jawa Tengah memiliki daya tarik tersendiri. Selain wisata pantainya, juga menawarkan kuliner khasnya seperti sate kambing Tegal, kupat glabed, lengko, ponggol, es sagwan dan masih banyak lagi.

Tidak hanya itu, Kota Tegal juga memiliki berbagai cerita sejarah, salah satunya di sudut kota di wilayah Kemandungan Kota Tegal.

Di wilayah tersebut dikenal seorang tokoh bernama Mbah Bujang. Siapakah sosok tersebut, hingga namanya melekat di wilayah Kemandungan Kota Tegal?

Baca Juga: Inilah Doa Agar Suami Jatuh Cinta Terus-menerus Kepada Istri

Portalbrebes mengutip dari buku Tegal Bercerita Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Tegal, pada halaman 83 ditulis oleh Dwi Ery Santoso.

Adalah dua pengembara, kesatria dari Mataram yaitu Raden Bunawa bersama Raden Bunawi yang masih bersaudara sebagai kakak beradik, melaksanakan niat suci dengan cara berkelana melalang buana menempuh perjalanan religi menuju arah barat, atau ke wilayah Keraton Kasepuhan Cirebon. Tujuan mereka mengembara adalah untuk menuntut ilmu memperdalam agama di Kesunanan Gunung Jati.

Setelah sekian lama memperdalam ilmu agamanya, merekapun berniat kembali pulang. Dalam perjalanannya, mereka dihadang para begal di daerah Kemiri Wetan, tepatnya di sungai Sibelis.

Baca Juga: Alif Cepmek Sang Dilan KW Bikin Lagu, ini Lirik 'Cepmek' Cepat Mencintai Kamu

Para begal tersebut dengan kasar dan memaksa, merampas kantung yang terbuat dari kain sutra yang dibawa sebagai bekal Raden Bunawa dan Raden Bunawi. Setelah begal berhasil merampas, kedua pengembara kembali melanjutkan perjalanan pulang.

Namun sontak ketika para begal membuka isi kantung tersebut bukan berisi harta seperti emas dan sejenisnya, namun perlengkapan sholat dan seikat pakaian ibadah muslim yang diguling dengan ikat kepala khas batik tanah Jawa.

Para begalpun seakan-akan merasa bersalah, hingga mengejar kembali Raden Bunawa dan Raden Bunawi untuk meminta maaf, hingga pada akhirnya para begal menyatakan taubat dan siap menjadi santrinya.

Baca Juga: Simak! 5 Mitos Gunung Semeru yang Diketahui Masyarakat

Perjalanan kembali dilanjutkan hingga memasuki wilayah Tegal, dua pengembara ini teringat seorang tokoh agama bernama Sunan Panggung. Bertemulah mereka dan bercerita mengenai banyak hal selama diperjalanan. Dengan niatan ingin lebih memperdalam ilmu agamanya, Raden Bunawa ingin menjadi santrinya Sunan Panggung, hingga ditugaskan mengajarkan Islam kepada penduduk setempat di daerah Kemiri Wetan yang sekarang terkenal dengan nama Kemandungan.

Kemiri Wetan adalah sebuah daerah yang dikenal penduduknya masih urakan, dengan mata pencaharian seperti berjudi, begal, copet dan mereka selalu kompak saat melakukan tindak kejahatan. Inilah yang menjadi tantangan Raden Bunawa.

Namun berbeda dengan Raden Bunawi yang memilih untuk tetap melanjutkan perjalanan dan meninggalkan Raden Bunawa. Ia bersikeras dengan melanjutkan perjalanannya ke arah selatan di wilayah hutan Pangkah.

Baca Juga: 10 Manfaat Donor Darah Secara Rutin yang Jarang Diketahui Orang

"Maaf hati kecil ini berkata, tempatku bukan di sini, diantara kita harus berpisah, namun kita tetap berjuang menyebarkan syiar agama agar cepat meluas di tanah Jawa," ujar Raden Bunawi.

Sementara dalam melaksanakan tugasnya, Raden Bunawa sudah bermukim di wilayah Kemiri Wetan, dan bertemu dengan tokoh sesepuh yang disegani yaitu Ki Sutawijaya.

Pada syiarnya, Ki Sutawijaya melihat sosok Raden Bunawa yang santun, bijak dan berwibawa hingga memintanya untuk menjadi lurah pertama di wilayah tersebut. Namun permintaan tersebut ditolak Raden Bunawa, lantaran Ki Sutawijaya-lah yang lebih pantas, terlebih usianya lebih sepuh dari dirinya.

Wargapun menyetujui, namun dengan syarat Raden Bunawa harus tetap tinggal di Kemiri Wetan.

Baca Juga: Luar Biasa! 2 Rempah ini Mampu Usir 5 Penyakit Sekaligus

Dalam menjalani kehidupannya di Kemiri Wetan, Raden Bunawa tetap melakukan syiar, agar warga di dusun tersebut bisa memiliki perilaku yang lebih baik. Ia pun teringat pesan dari guru pertamanya, Sunan Gunung Jati untuk benar-benar menyebarkan agama kebajukan kepada seluruh orang yang ditemuinya.

Pada saat menerima pesan tersebut, Raden Bunawa sangat emosional hingga keluarlah ucapan sumpah bila ia tidak akan menikah sebelum tuntas menyebarkan syiar agama.

Hingga akhir hayatnya Raden Bunawa memang tidak menikah, yang artinya warga daerah syiarnya belum seluruhnya mengimani Islam.

Raden Bunawa mangkat dan dimakamkan di daerah ngurawan Kemiri Wetan, yang sekarang bernama Kemandungan. Nama Kemandungan sendiri adalah pemberian dari jaman Adipati Martoloyo ketika beliau mendirikan sebuah Kraton di sebelah utaranya, bernama Kraton Pudak Sipayung.

Baca Juga: Sebelum Purna Tugas, Bupati Brebes Resmikan RPU Modern

Kemandungan menurut arsitek kuno adalah tempat berkumpulnya atau menunggunya rakyat yang akan menghadap raja.

Raden Bunawa oleh masyarakat setempat diberi gelar Mbah Bujang. Bujang sendiri berarti perjaka atau tidak menikah, karena sampai wafatnya Raden Bunawa memang tidak menikah.***

Editor: Dewi Prima Mayasari

Tags

Terkini

Terpopuler