Google Doodle Rayakan Hari Kelahiran Prof Dr Julie Sulianti Saroso, Begini Profilnya

- 10 Mei 2023, 09:02 WIB
profil Prof Dr Julie Sulianti Saroso yang dirayakan Google Doodle hari ini
profil Prof Dr Julie Sulianti Saroso yang dirayakan Google Doodle hari ini /

PORTAL BREBES – Hari ini Google Doodle memperlihatkan sebuah foto Prof Dr Julie Sulianto Saroso sekaligus merayakan kelahiran wanita yang pertama kali menjadi dokter di Indonesia.

Lantas, siapa Prof Dr Julie Sulianto Saroso itu sebenarnya? Simak disini

Dilansir dari laman Twitter @PSKKUGM, Julie Sulianto Saroso merupakan sang pelopor keluarga berencana di Indonesia.

Baca Juga: BLT Rp70 Ribu Cair, Segera Daftar Kartu Prakerja Gelombang 52 yang Segera Dibuka

Ia lahir pada 1917 dan lulus di sekolah kedokteran pada 1942 yang memulai karir sejak 1951 di bagian Kesehatan ibu dan anak Departemen Kesehatan.

Sulianti Saroso lahir 10 Mei 1917 di Karangasem, Bali. Ia adalah anak kedua dari keluarga Dokter M Sulaiman. Sebagai dokter, tempat tugas Sulaiman berpindah-pindah. Toh, Sulianti selalu mendapat pendidikan terbaik.

Ia menempuh pendidikan dasar berbahasa Belanda ELS  (Europeesche Lagere School), lalu pendidikan menengah elite di Gymnasium Bandung, yang sebagian besar siswanya kulit putih, dan melanjutkan pendidikan tinggi di Geneeskundige Hoge School (GHS), sebutan baru bagi Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia. Ia lulus sebagai dokter 1942.

Baca Juga: Segera Daftar! Kemenkes Buka Lowongan Kerja Tenaga Kesehatan dengan Tugas Khusus, Cek Posisi yang Dibutuhkan

Ia kemudian dikirim ke Swedia untuk mempelajari sistem Kesehatan ibu dan anak di Eropa, terutama terkait pendidikan seks dan pengendalian kelahiran.

Ketika dirinya kembali ke Indonesia pada 1952, Sulianti merasa prihatin dengan angka kematian ibu yang tinggi dan jumlah bayi yang belum dihitung secara akurat dalam sistem statistik.

Selain itu, dia juga aktif mengkampanyekan penggunaan kontrasepsi melalui siaran radio RRI Yogyakarta dan berbagai seminar, serta meminta pemerintah untuk membuat kebijakan yang mendukung penggunaan kontrasepsi melalui sistem Kesehatan masyarakat.

Baca Juga: Penyebab Dokter Wayan Hidup Dirumah Kumuh Penuh Sampah Terkuak, Setelah Viral Sekarang Tinggal Dimana

Kampanye Sulianti mendapat penolakan dari pemerintah dan Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Yogyakarta karena dianggap melanggar hak asasi manusia.

Penolakan ini lantas tidak menyurutkan semangat Sulianti dan para tokoh perempuan lainnya untuk terus mempromosikan keluarga berencana dan penggunaan kontrasepsi secara kelembagaan melalui YKK, PKBI, BKKBN dan lain sebagainya.

Namanya disematkan pada Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI), yang dibangun secara representatif  di kawasan Sunter, Jakarta Utara.

Baca Juga: Golongan PNS Ini Dipastikan Tidak Mendapatkan Gaji ke-13 Tahun 2023, Apa Saja?

Dilansir dari laman Indonesia.go.id, dalam catatan sejarah kebijakan bidang kesehatan di Indonesia, Profesor Dokter Sulianti Saroso, MPH, PhD, adalah nama penting untuk setidaknya dua urusan, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, serta keluarga berencana (KB). Ia peneliti dan perancang kebijakan kesehatan, dan tidak tertarik menjadi dokter praktek.

Dokter Sulianti Santoso pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan, dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M) pada 1967.

Ia juga merangkap sebagai Direktur Lembaga Riset Kesehatan Nasional (LRKN). Dalam posisi itu, Profesor Sulianti  memberikan perhatian besar pada Klinik Karantina di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Klinik itu telah dikembangkannya menjadi RS penyakit menular sekaligus untuk keperluan riset penyakit menular.

Baca Juga: Kondisi Terkini Banjir Bandang Cianjur: Dua Jembatan Putus

Tidak cukup dengan observasi di RS karantina di Tanjung Priok, Dokter Sulianti pun membangun pos-pos kesehatan masyarakat di berbagai lokasi.

Dari observasi lapangan itu lantas lahir rekomendasi-rekomendasi. Di antaranya, vaksinasi massal, vaksinasi reguler (untuk anak usia dini), pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak, produksi cairan “Oralit” untuk korban dehidrasi akibat diare, ditambah perencanaan dan pengendalian kehamilan.

Menjelang masa pensiun di pertengahan 1970-an, Profesor Sulianti aktif sebagai konsultan untuk lembaga internasional WHO dan Unicef.

Baca Juga: Gus Men Yaqut Cholil Qoumas Ingatkan ASN Kemenag Agar Tidak Terpengaruh dengan Pesta Pemilu 2024 Mendatang

Posisi itu membuatnya sering melakukan perjalanan keluar negeri. Pascapensiun, ia pun terus diminta menjadi tim penasihat untuk Menteri Kesehatan. Dalam posisi itu, ia terus mengawal gagasan-gagasannya tentang tata kelola kesehatan masyarakat, KB, dan pengendalian penyakit menular.

Pada masa pendudukan Jepang, Sulianti bekerja sebagai dokter di RS Umum Pusat di Jakarta, yang kini dikenal sebagai RS Cipto Mangunkusumo. Pada awal kemerdekaan, ia ikut bertahan di rumah sakit besar itu. Namun, ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta, Sulianti turut hijrah menjadi dokter republiken dan bekerja di RS Bethesda Yogyakarta.

Sulianti mengikuti garis politik keluarganya. Ayahnya, dokter Muhammad  Sulaiman, yang berasal dari kalangan keluarga priyayi tinggi di Bagelen-Banyumas dan serumpun dengan Keluarga Soemitro Djojohadikusumo itu adalah pengurus dan pendiri Boedi Oetomo, dengan pandangan politik yang pro Indonesia Merdeka.

Baca Juga: 29.109 peserta Dinyatakan Lulus Sebagai Calon PPPK Kemenag Tahun 2023, Apakah Kamu Termasuk, Cek Disini

Di Yogya, Sulianti, yang oleh teman-temannya sering dipanggil sebagai Julie, itu benar-benar terjun sebagai dokter perjuangan. Ia mengirim obat-obatan ke kantung-kantung gerilyawan republik, dan  terlibat dalam organisasi taktis seperti Wanita Pembantu Perjuangan, Organisasi Putera Puteri Indonesia, selain ikut dalam organisasi resmi KOWANI.

Pada 1947, Sulianti ikut delegasi KOWANI ke New Delhi, menghadiri Konferensi Perempuan se-Asia. Di situ, Sulianti dan teman-teman menggalang pengakuan resmi bagi kemerdekaan Indonesia. Saat pasukan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda/NICA menyerbu dan menduduki Yogyakarta, pada Desember 1948, Sulianti termasuk ke  dalam daftar panjang para pejuang kemerdekaan yang ditahan. Ia meringkuk di penjara dua bulan.

Pascarevolusi kemerdekaan, dokter Sulianti  kembali bekerja di Kementerian Kesehatan. Ia meraih beasiswa dari WHO untuk belajar tentang tata kelola kesehatan ibu dan anak di beberapa negara Eropa, terutama Inggris. Pulang ke tanah air pada 1952, ia telah mengantungi Certificate of Public Health Administrasion dari Universitas London. Ia pun ditempatkan di Yogya sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI.***

Editor: DR Yogatama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x