Dikategorikan Sebagai Pekerja Migran, Pelaut dan Agen Kapal Ajukan Judicial Review ke MK

13 September 2023, 14:34 WIB
Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) dan PT Mirana Nusantara Indonesia (MNI) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) /Doc/

PORTAL BREBES – Undang-undang No 18 Tahun 2017 materi Pasal 4 Ayat (1) huruf dinilai merugikan kepentingan pelaut dan keagenan awak kapal (Manning Agency). Dimana, disebutkan bahwa pelaut dikategorikan sebagai pekerja migran.

Ungkapkan tersebut disampaikan Ketua Umum AP2I, Imam Syafi’I usai dihubungi Portal Brebes melalui sambungan telephone, Rabu 13 September 2023.

Menurutnya, dengan adanya itu Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) dan PT Mirana Nusantara Indonesia (MNI) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU No 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Baca Juga: Perdana di Shopee Live! Flash Sale Mobil 9RB Bareng Sarwendah Diikuti 180.000 Orang Lebih Secara Bersamaan

Dikatakan, bahwa sebagaimana undang-undang tadi akan berdampak yang dikesampingkannya beberapa undang sebagaimana asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis yang berarti hukum khusus menyampingkan hukum umum.

"Disini saya melihat ada kerugian dan ketidakpastian hukum terhadap pelaut, salah satunya adalah dengan beralihnya atau diklaimnya pelaut yang bekerja di luar negeri sebagai bagian pekerja migran, maka segala aturan dan ketentuan yang berkaitan dengan pelaut mengikuti aturan dan ketentuan pekerja migran," ujarnya.

Dia melanjutkan, pada dasarnya bahwa aturan dan ketentuan antar pelaut itu sebagaimana diatur secara khusus termasuk pada koversi internasional terkait dengan kedudukan pelaut. Ia menduga, bahwa dengan berlakunya Pasal 4 ayat (1) huruf c UU No 18 Tahun 2017, tentu pengawasan dan penerbitan izin perekrutan dan penempatan pelaut menjadi kewenangan mutlak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

Baca Juga: Jelang Tahapan Kampanye Pemilu 2024, Polres Tegal Kota Siapkan Kelaikan Ranmor Dinas

"Ini jelas tidak akan berjalan secara optimal dikarenakan pelaut berhubungan langsung dengan transportasi laut, dimana ini harusnya menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang memiliki tugas menyelenggarakan keselamatan dan keamanan angkutan perairan dan pelabuhan," ungkapnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Imam Syafi’i, Fathur Siddiq menambahkan bahwa disebutkan pasal 4 ayat(1) huruf c UU No 18 Tahun 2017 akan berdampak tumpeng tindihnya regulasi. Baik pada tingkatan undang-undang yang berbenturan dengan UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran sampai dengan tindakan Peraturan pelaksanannya.

Yakni PP No 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran dengan PP No 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.

Baca Juga: Mundur dari Jabatannya, Kades Wangandawa Talang Kabupaten Tegal Terharu akan Hal Ini

"Dengan beralihnya kewenangan Kemenhub menjadi kewenangan Kemnaker dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), maka jaminan perlindungan serta hak-hak bagi pelaut yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan terkait dengan pelayaran tidak dapat diaplikasikan kepada pelaut," pungkasnya.

Ditempat yang sama, kuasa hukum Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia Ahmad Daryoko, Ahmad Faisal, mengatakan kliennya merupakan direktur perusahaan yang bergerak dalam aktivitas keagenan awak kapal (manning agency) dan mengklaim pihaknya telah memiliki dokumen Perizinan Berusaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK).

Namun karena belum memiliki Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI), pihaknya mengaku mengalami kerugian spesifik dan aktual. Ia juga menyebutkan bahwa kliennya merasa dikriminalisasi dengan ditetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Baca Juga: Pecahkan Rekor Baru di Shopee Live! Ruben Onsu Raup Omzet Rp16 Miliar di Puncak Kampanye Shopee 9.9!

"Kita merasa sebagai korban atas dualisme aturan yang sedang berlaku. Padahal kita memiliki SIUPPAK tapi kita diharuskan untuk memiliki SIP2MI. Sebagai kuasa hukum, saya merasa klien saya dirugikan sebagai korban, karena kalau mengikuti UU No 18 Tahun 2017 maka sudah dirubah di UU Cipta Kerja," katanya.

Menurutnya, SIP2MI sudah tidak pidana lagi, namun administratif. Jika mengacu PP 22 Tahun 2022 itu pun sama. SIP2MI bagi manning agency juga administratif.

Ia berharap, supaya terjadi harmonisasi regulasi khusus pelaut sehingga tidak terjadi tumpang tindih perijinan antara Kemnaker, BP2MI dengan Kemenhub.

Baca Juga: Pemuda Pancasila (PP) Tanjung Minta Polisi Segera Menangkap Pelaku Teror Terhadap Ketua Persab Brebes

"Sebagai konsekuensi, pelaut menanggung beban tambahan kewajiban adiministrasi perizinan dan tentunya waktu biaya. Ini berpotensi adanya kemungkinan disisihkannya pelaut-pelaut Indonesia dalam posisi pekerjaan di kapal asing. Karena pemilik kapal akan merekrut pelaut dari negara lain," tegasnya.

Maka dari itu, Pasal 4 ayat (1) huruf c UU No 18 Tahun 2017 tersebut perlu dilakukan review (judicial review atau political review) dengan mengeluarkan pelaut dari kelompok pekerja migran dan ditegaskan dalam Pasal 5 UU PMI 2017, bersama sejumlah pekerja lainnya yang dieksklusi sebagai pekerja migran.

"Ini dimaksudkan untuk menjaga konsistensi legislasi antara UU PMI 2017 dengan tiga konvensi ILO sebagai induk legislasi dan tata kelola migrasi ketenagakerjaan internasional," pungkasnya.***

Editor: DR Yogatama

Tags

Terkini

Terpopuler