Citayam dan Sejarahnya, Hingga Dikenal Sampai Sekarang

- 24 Juli 2022, 18:21 WIB
Sekelompok remaja asal Citayam berkumpul di kawasan Sudirman (SCBD) Jakarta dengan gaya berbusana yang nyentrik.
Sekelompok remaja asal Citayam berkumpul di kawasan Sudirman (SCBD) Jakarta dengan gaya berbusana yang nyentrik. /Pikiran Rakyat/Muhammad Rizky

PORTAL BREBES – Citayam kini ramai diperbincangkan, apalagi dikalangan anak-anak muda sekarang. Hal tersebut menyusul banyaknya ABG atau anak baru gede yang mengunggah video-video Citayam ke media social.

Anak-anak sekarang pasti kenal dengan Roy dan Bonge, yang kini menjadi sorotan karena aksi mereka di wilayah Sudirman dan Dukuh Atas dijadikan konten oleh salah satu pengguna TikTok.

Dijuluki anak SCBD alias Sudirman Citayam Bojong Gede Depok, mereka membawa nama Citayam makin dikenal luas oleh masyarakat. Citayam merupakan nama salah satu wilayah di pinggiran Kota Depok yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor.

Baca Juga: TikTok Kini Pakai Fitur Pengenal Wajah, Batasi Usia Pengguna Minimum 13 Tahun

Portalbrebes mengutip dari Pikiran-Rakyat.com yang diambil dari berbagai sumber, di masa lalu Citayam adalah sebuah kampung yang bertetangga dengan Kampung Cipayung.

Asal usul nama Citayam pun sampai saat ini belum diketahui secara pasti dan memiliki beberapa versi.

Versi pertama menyebutkan bahwa Citayam berasal dari dua suku kata, yakni 'Cit' dari kata 'peuncit' dan 'Ayam'.

Dalam bahasa Sunda, jika kedua kata tersebut digabung akan menjadi 'Pameuncit Ayam' yang dalam bahasa Melayu berarti 'Pemotongan Ayam'.

Sedangkan versi kedua menyebutkan kata Citayam diambil dari nama Ci atau cai yang berarti air dalam bahasa sunda, dan Ayam. Jika kedua namanya digabung memiliki arti 'Sungai Ayam'.

Baca Juga: Setelah Citayam Fashion Week, Kini Ada Braga Fashion Week

Berdasarkan peta ‘Tjipajoeng: herzien in de jaren 1899-1900’ yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau pada 1901, sudah disebutkan nama Citayam yang ditulis dengan Tjitajam.

Menurut peta tersebut, area Citayam meliputi kampung Bojong, Pondok Terong, Rawa Geni, Ratu Jaya, Pabuaran, dan Citayam (Tjitajam) sendiri.
Kemudian, Kampung Citayam dengan beberapa kampung lain yang berdekatan dibentuk menjadi sebuah desa, yang diberi nama Desa Citayam.

Pada zaman dahulu, Citayam merupakan tempat persinggahan para pedagang. Hal itu terlihat dari banyaknya orang-orang timur tengah, berupa para habaib atau orang-orang Arab, di Citayam.

Sejak era kolonial, Citayam merupakan daerah penghasil karet yang tersohor.

Di landhuis Citayam terdapat rumah tuan tanah dan properti lainnya, termasuk pabrik penggilingan karet.

Baca Juga: Begini Kata Kak Seto Saat Mendatangi Remaja 'SCBD'

Pusat kegiatan tanah partikelir ini berada di dua lokasi. Untuk rumah pemilik atau tuan tanah lokasinya berada di sisi barat pinggir setu (danau kecil) yang disebut Setu Citayam.

Sedangkan pabrik penggilingan, gudang, dan tempat para pekerja berada di sebelah barat setu (lokasi perumahan Atsiri yang sekarang).

Dalam perkembangannya, nama Citayam menjadi lebih sangat menonjol seiring dengan dibangunnya sebuah halte atau stasiun kereta api yang diberi nama Stasion Tjitajam pada 1922 yang terletak tepat di sisi timur setu.

Hasil-hasil perkebunan Citayam dibawa melalui jalan pos polisi dan pasar Citayam yang sekarang menuju stasiun Citayam.

Kemudian dibuat alternatif melalui setu yang sekarang disebut Jalan Pos (kereta api) Citayam.

Baca Juga: Viral SCBD, Ini Dia Arti Fashion Week Sebenarnya

Perempatan yang terbentuk karena pembuatan jalan alternatif di sekitar Setu Citayam ini kemudian sering disebut sebagai simpang (perempatan) Hek. Jadi, nama Citayam juga merujuk pada sebuah setu, area tanah partikelir (landhuis), dan stasiun kereta api.

Bahkan, nama Citayam sudah dikenal karena disebut seorang ahli Botani ternama Cornelis Gijsbert Gerrit Jan van Steenis yang dua kali mengunjungi Setu Citayam.

Direktur Herbarium Kerajaan (Rijksherbarium) Leiden, Belanda (1962-1972) yang biasa disapa Profesor Kees van Steenis pertama kali datang ke Setu Citayam pada 1929, diperkirakan antara akhir Maret atau April.

Sebab pada 14 Maret dia sempat singgah di Depok dan melanjutkan perjalanan ke Gunung Gede, Cibodas pada 5 Mei.

Kunjungan kedua Kees van Steenis ke Setu Citayam pada 28 Agustus 1932. Dia bertugas di Kebun Raya Bogor dari 1929 hingga 1949, telah menulis dua buku bidang botani dan biografi, yaitu Flora Voor De Scholen in Indonesie (1949) dan The Mountain Flora of Java (berisi pemerian 456 spesies asli pegunungan Jawa).

Baca Juga: Ultah Kanaya Bird Farm Tegal, Edukasi Anak-anak Lestarikan Alam dan Satwa

Pembangunan Stasiun Citayam pada 1922 juga membuat nama daerah ini tidak asing.

Kehadiran Stasiun/Halte Citayam merupakan bagian dari beroperasinya Kereta Api Batavia (Jakarta Kota)-Buitenzorg (Bogor) sejak awal 1873.

Diketahui pembangunan jalur kereta antara Jakarta dan Bogor oleh NIS (Nederland Indische Spoorweg Maatschappij) dicanangkan pada 1870.

Pembukaan jalur kereta pertama di Jakarta ini juga sempat diberitakan Javabode, sebuah koran lokal saat itu, pada 15 September 1871.

Jalur kereta api Batavia-Buitenzorg ini terdiri dari stasiun utama (hoofdstatsion), stasiun (stasiun kecil), halte (halte besar) dan overweg (halte kecil).

Stasiun utama berada di Batavia lama (Stadhuis/NIS) dan Buitenzorg, sedangkan halte dan overweg terdapat di Cileboet, Bodjong Gede, Tjitajam, Depok, Pondok Tjina, Lenteng Agoeng, Pasar Minggoe.

Tidak hanya itu, nama Citayam pun pernah ditulis dalam sejarah perjuangan berdirinya negara Indonesia.

Baca Juga: Begini Tanggapan Jokowi soal Kasus Bocah SD di Tasikmalaya yang Meninggal Dibullying

Pada 16 Juni 1946, Depok mendapat invasi besar-besaran dari Belanda dibantu Inggris dan sekutunya.

Di Citayam, salah satu pahlawan kemerdekaan yang namanya diabadikan pada salah satu jalan di Kota Depok, Tole Iskandar pernah terlibat pertempuran dengan pasukan Gurkha.

Bersama dengan rekan-rekannya yang tergabung dalam Laskar Rakjat Depok (kelompok 21), dia kemudian melebur ke dalam Batalion I Depok.

Tole Iskandar dan pasukannya juga terlibat pertempuran dengan pasukan Gurkha di Pabuaran dan Bojonggede.

Pria yang lahir di Gang Kembang, Ratu Jaya, Depok, tersebut pertama kali membentuk kelompok 21 pada September 1945 di sebuah rumah di Jalan Citayam (sekarang Jalan Kartini).

Baca Juga: Beginilah Anak-Anak di Sekolah Pesisir Tegal Memperingati Hari Anak Nasional

Mereka hanya memiliki empat pucuk senjata peninggalan tentara Jepang untuk melawan Belanda.

Tole Iskandar yang saat itu masih berusia 25 tahun dengan pangkat Letnan Dua akhirnya gugur di daerah perkebunan (Onderneming) Cikasintu, Sukabumi.***

Editor: Dewi Prima Mayasari


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah