Sejarah Gedung Birao atau SCS Tegal yang Kini Dikenal Lawang Satus

- 29 November 2022, 17:51 WIB
Gedung Birao atau gedung SCS Tegal.
Gedung Birao atau gedung SCS Tegal. /Sari

PORTAL BREBES – Kota Tegal sebagai salah satu wilayah di pesisir Pantai Utara Jawa Tengah terus berkembang dengan pesat. Pembangunan di Kota Tegal dalam rangka memajukan wilayah dan menarik wisatawan dari luar kota juga terus dilakukan.

Seperti di kawasan City Walk Jalan Ahmad Yani Kota Tegal, Jalan Pancasila dan Taman Pancasila, serta di kawasan Pantai Alam Indah dan sejumlah destinasi wisata pantai lainnya, seperti di Pantai Batamsari, Pantai Kodok, dan Pantai Komodo.

Kota Tegal juga memiliki sejumlah bangunan bersejarah yang menjadi ikon, seperti menara Water Leiding dan Gedung Semarang-Cheribon Stoomtram Matschappij (SCS) atau Gedung Birao atau Gedung Lawang Satus, yang berada di Jalan Pancasila atau depan Stasiun Kota Tegal.

Baca Juga: Kapolres Tegal Kota Sidak ke Kantor Samsat, Cek Langsung Proses Pelayanannya

Seperti Gedung SCS, jika dilihat secara seksama, bangunan yang dibuat pada masa Hindia Belanda itu nampak megah dan memiliki banyak pintu, hampir mirip dengan Gedung Lawang Sewu di Semarang. Hingga Gedung SCS, disebut oleh Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono dengan sebutan Gedung Lawang Satus.

Lantas, bagaimana sejarahnya hingga gedung SCS bisa dibangun dan berada di Kota Tegal?

Dikutip Portalbrebes dari kebudayaan.kemdikbud.go.id menyebutkan bahwa, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Kota Tegal menjadi daerah yang cukup strategis yang ada di pesisir utara Jawa sekitar abad ke-18 hingga ke-20 M.

Kondisi ini juga didukung dengan adanya jalur kereta api yang melewati wilayah Tegal dengan menghubungkan kota-kota di sepanjang pesisir utara Jawa. Ini dibuktikan dengan adanya keberadaan bekas kantor perusahaan kereta api swasta Semarang-Cheribon Stoomtram Matschappij (SCS) anakan perusahaan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), yaitu Gedung Birao. Kantor perusahaan ini dulunya dimanfaatkan sebagai tempat administratif terkait perusahaan kereta api mengingat sedang dibangun jaluan kereta api Cirebon-Semarang.

Baca Juga: Jangan Salah, Mandi Pagi Memiliki Manfaat untuk Kesehatan

Gedung Birao atau Gedung SCS dirancang pertama kali pada 1911 oleh arsitek terkemuka dalam perkembangan arsitektur Belanda, Henri Maclaine Pont, arsitek keturunan Belanda-Bugis yang lahir di Jakarta. Bangunan ini sangat kental dengan gaya arsitektur Belanda. Meskipun demikian, Maclaine Pont mahir dalam menggunakan sumber daya alam setempat dan memperkerjakan buruh lokal dengan harapan sebagai latihan dalam menambah keterampilan mereka. Selain itu pembangunan gedung Birao juga turut memperhatikan lokasi yang berada di sekitar alun-alun, masjid, dan tempat tinggal Residen atau Gubernur pada masa itu.

Sang arsitek sengaja membuat bentuk bangunan Gedung Birao mirip dengan kantor pusat NIS yang ada di Semarang, Lawang Sewu. Persamaan ini mungkin ditujukan agar nampak kesan kesamaan dan keseragaman antar kantor-kantor milik NIS di berbagai kota. Kesamaan ini ditonjolkan oleh arsitek pada bagian pelengkung-pelengkung, pada gang sekeliling ruang kantor dan tangga utama, serta kesamaan pada bangunan yang dibuat meninggi agar terkesan megah.

Pembangunan Gedung Birao turut memperhatikan kondisi lingkungan setempat, sama halnya Lawang Sewu dibuat. Bangunan dirancang sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan iklim, sinar matahari, dan gaya hidup masyarakat lokal pada masa itu. Tidak seperti orang Eropa yang lebih memilih menggunakan bahan impor, Maclaine Pont menggunakan bahan-bahan lokal misalnya kayu jati, batu bata, dan pasir lokal.

Baca Juga: Asal Usul Nama Tegal Tak Terlepas dari Peran Ki Gede Sebayu

Kecerdasan arsitek Gedung Birao terlihat pada bagaimana Maclaine Pont memilih peletakan gedung memanjang dari arah timur-barat. Hal ini berkenaan supaya jendela dan pintu terletak pada sisi utara-selatan. Dengan demikian cahaya matahari dapat terhindari dari arah barat dan timur. Peletakan jendela pada sisi utara-selatan ini juga berkenaan dengan pengaturan udara yang masuk sehingga mendapatkan udara sebanyak-banyaknya dari arah utara karena angin laut di siang hari dan dari arah selatan yang mendapat angin darat pada malam hari.

Bangunan ini juga dibuat monoton tanpa fokus sentral, dengan wajah depan bangunan yang terdiri dari dua lantai dilengkapi pelengkung-pelengkung ala Greco-Romawi, diselingi empat menara dilengkapi tangga didalamnya. Pertimbangan ini dibuat agar pengunjung datang melewatinya melalui arah samping barat atau timur.

Keberadaan pintu dan jendela yang besar berfungsi sama seperti bangunan tropis pada umumnya yaitu mendapatkan udara segar dan sirkulasi udara dalam bangunan mencadi lancar. Selain itu, menara dan tangga juga sangat membantu dalam sirkulasi udara secara kontinu. Setiap ruangannya juga terdapat gang panjang pada laintai satu atau lantai dua yang berfungsi sebagai penghubung, serta isolasi panas cahaya matahari karena ruang-ruang tidak langsung terkena cahaya matahari.

Baca Juga: Peduli Cianjur, Polres Tegal Kota Gelar Aksi Galang Dana Anggotanya

Gedung Birao ini menjadi saksi bisu sejarah dari masa Hindia Belanda hingga masa kini masih berdiri kokoh. Pada masa setelah Proklamasi, 10 September 1945, bangunan ini digunakan sebagai tempat dikibarkannya bendera Merah Putih, bukti pergerakan warga lokal Tegal memerangi penjajah yang melarang pengibaran bendera pada waktu itu.

Beberapa puluh tahun berlalu, Gedung Birao disewakan kepada Yayasan Pancasakti Tegal dan digunakan sebagai kampus 2 Universitas Pancasakti Tegal. Setelah masa sewanya habis, Gedung Birao dibiarkan begitu saja, hingga akhirnya kini didaftarkan menjadi cagar budaya.***

Editor: Dewi Prima Mayasari

Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x