Pentingnya Eksistensi Psikologi Hukum dalam Citra Penegak Hukum

- 9 Februari 2023, 08:36 WIB
Dosen Fakultas Hukum UPS Tegal, Dinar Mahardika, S.H.,M.H
Dosen Fakultas Hukum UPS Tegal, Dinar Mahardika, S.H.,M.H /

PORTAL BREBES - “Berikan aku penegak hukum yang jujur dengan peraturan yang buruk maka penegakan hukum itu akan berjalan dengan baik, namun sebaliknya dengan aturan hukum yang amat lengkap, kemudian penegaknya memiliki keperibadian yang tidak jujur, maka penegakan hukum itu tidak akan berjalan dari apa yang seharusnya (das sein)”.

Demikian secara singkat kita sering menemui pendapat Taverne yang banyak dikutip oleh beberapa penulis, terutama penulis yang mengkaji hukum sebagai pengamat (baca:bukan partisipan).

Pernyataan Taverne setidaknya mengingatkan bahwa hukum yang diartikan secara normative, demikian amat dipengaruhi oleh kepribadian dari penegak hukum seperti polisi, jaksa, pengacara dan hakim.

Dari sini kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa penegakan hukum merupakan kewibawaan suatu negara. Apabila penegakan hukum di suatu negara tidak bisa diciptakan maka kewibawaan negara
tersebut pun runtuh.

Baca Juga: Pelanggar Berpotensi Fatalitas Kecelakaan Bakal Ditindak Tegas Polisi

Pada tahun lalu di 2022 kita digegerkan oleh kasus yang mengguncang intitusi Polri terkait dengan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Dan ternyata terdapat banyak rekayasa-rekayasa perkara dalam kasus ini, yang menyeret banyak korban khususnya para penegak hukumnya.

Tentu hal tersebut mengakibatkan kemerosotan
wibawa penegak hukum. Padahal jika di telusuri ini bukan terdapat pada masalah hukumnya melainkan pada kecerdasan emosional para penegak hukumnya. Yang pada akhirnya berdampak pada wibawa hukumnya.

Menurut Rahardjo (2006) masalah peradilan bukan masalah hukum saja, melainkan masalah perilaku manusia terutama aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim). Perilaku penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) merupakan faktor penting dalam penegakan hukum secara optimal dan bermartabat (Ridwan, 2008).

Baca Juga: Terungkap Residivis yang Diringkus BNN Kota Tegal dari Jaringan Lapas

Misalkan, dalam persidangan yang melibatkan banyak orang, yaitu jaksa, pembela, saksi, terdakwa, dan peserta sidang memunculkan banyak hubungan sosial sehingga menimbulkan muatan psikologis, yang berpotensi terjadinya bias dalam putusan hukuman (Probowati, 1995).

Hukum itu merupakan seperangkat aturan yang dibuat bertujuan untuk mengatur perilaku munusia. Manusia menjadi aktor utama dalam proses penegakan hukum. Masalahnya sekarang ini banyak perilaku-perilaku oknum cenderung menggunakan "kelemahan" hukum untuk mengambil suatu kesempatan dalam menggapai tujuan.

Logikanya hukum menjadi suatu alat untuk memutar balikan fakta bahkan menjadi suatu alat untuk menyerang orang lain. Fenomena telah banyak kita lihat sekarang ini. Berkaitan dengan perilaku manusia salah satu ilmu yang relevan dengan tersebut adalah psikologi.

Baca Juga: Miliki Paket Sabu Siap Edar, Residivis Diringkus BNN Kota Tegal

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia. Dalam perjalanannya psikologi banyak berinteraksi dengan ilmu-ilmu lainnya termasuk hukum. Interaksi psikologi dan hukum telah lama terjadi, semenjak tahun 1900–an.

Perkembangan signifikan terjadi pada tahun 1920, psikologi dan hukum berusaha mencari bentuk dan definisi peran yang dimainkan dalam disiplin ilmu masing masing.

Integrasi psikologi dan hukum berawal dari suatu keyakinan filosofi yang mengatakan bahwa dalam memandang ilmu tidak seharusnya dilihat sebagai suatu entitas terpisah dan berbeda, namun lebih dari merupakan saling berhubungan satu sama lainya.

Baca Juga: Refleksi HPN 2023! Wartawan Tanam 5000 Bibit Pohon untuk Siapa?

Munsterberg (1908), mengatakan bahwa psikologi harus berhubungan dengan ilmu-ilmu lainnya. Psikologi harus berbicara dalam tataran praktis, tidak hanya sekedar konseptual. Oleh karena itu aplikasi psikologi harus menyentuh aspek dasar manusia dengan menggunakan pendekatan berbeda.

Salah satu bentuk pendekatannya adalah berorientasi pada problem kehidupan manusia (Pfeifer, 1997). Falsafah tersebut mendorong ilmu psikologi untuk lebih banyak berinteraksi dengan ilmu lain termasuk ilmu hukum, terutama dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan perilaku manusia.

Kaspardis (dalam Kohnken, dkk., 2003) membagi tiga bentuk pengintegrasian psikologi dalam hukum, yaitu psychology in law, psychology and law, dan psychology of law.

Baca Juga: Baru Bebas dari NK, Pengedar Sabu di Tegal Kembali Diringkus BNN dalam Kasus yang Sama

Sedangkan proses integrasi psikologi dan hukum bukannya tanpa masalah. Beberapa masalah mendasar dalam proses tersebut masih sering ditemukan, terutama dalam framework dasar dalam meletakkan kaedah-kaedah keilmuan dan perbedaan dalam hal tujuan, metode dan gaya penyelidikan (Costanzo, 2006).

Kegigihan dalam memegang prinsip dasar tersebut terkadang membuat integrasi Psikologi dan hukum cenderung kaku dan terlalu konseptual. Artinya, setiap bidang ilmu berusaha menganggap ilmunya lebih mampu menjelaskan suatu perilaku secara ilmiah.

Selain itu, sumber daya manusia cenderung terbatas terutama dalam penguasaan Ilmu Psikologi dan hukum. Selama ini, kebanyakan para ahli hanya menguasai satu bidang. Sedangkan bidang lain tidak dikuasai secara baik sehingga kurang komprehensif dan aplikatif.

Baca Juga: 3.331 Personel dari jajaran Polda Jawa Tengah Ditugaskan di Operasi Keselamatan Lalu Lintas Candi

Misalkan, seseorang menguasai ilmu psikologi namun tidak menguasai ilmu hukum secara baik. Permasahaan ini muncul karena tidak mudah bagi seseorang untuk belajar secara intens ilmu lain. Untuk menjadi ahli (expert) dalam dua bidang (psikologi dan hukum) membutuhkan tenaga, baik pikiran, fisik maupun materi.

Sehingga banyak orang hanya mengambil jalan pintas dengan mengikuti kuliah singkat mengenai hukum atau psikologi (Costanzo, 2006). Namun kondisi ini sedikit sudah berubah terutama di Barat.

Di Indonesia perkembangan psikologi hukum masih lambat dan kurang berkembang. Salah satu permasahananya adalah sumber daya manusia yang masih terbatas. Minat mahasiswa dalam mengkaji permasalah hukum dan psikologi dalam satu perspektif masih sedikit. Sehingga hasil-hasil penelitian masih terbatas.

Baca Juga: 4 Rekomendasi Kuliner Soto Terlezat di Jogja, Cocok untuk Sarapan!

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang psikologi hukum, perbedaan sistem hukum antara di Barat (Amerika) dan Indonesia merupakan satu kendala, terutama dalam mengadopsi penelitian-penelitian yang berasal dari Barat.

Di Amerika menggunakan sistem juri, sedangkan di Indonesia sistem Hakim. Hakim di Amerika berfungsi sebagai pengawas, pembantu dan pengatur jalannya persidangan. Sedangkan hakim di Indonesia lebih mirip fungsi juri di Amerika, yaitu sebagai pemutus perkara.

Walaupun fungsi hakim di Indonesia lebih kompleks, karena tugas juri dan hakim di Amerika diperankan oleh seorang/majelis hakim di Indonesia. Dikarenakan sistem hukum berbeda, peluang psikologi lebih besar dalam melihat dinamika pengambilan putusan juri, karena juri berasal dari masyarakat biasa yang dipilih.

Baca Juga: 5 Tempat Wisata di Kudus ini Viral di Luar Negeri, Apakah Kamu Pernah Kesini?

Pengaruh unsur-unsur di luar hukum lebih besar mempengaruhi juri dalam pengambilan putusan. Ini dapat disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang hukum itu sendiri.

Di Indonesia, seorang hakim adalah orang memiliki kemampuan yang telah terstandarisasi dalam bidang hukum, sehingga faktor-faktor di luar hukum akan mudah tereliminasi dalam pengambilan putusan.

Walaupun kenyataan menunjukkan bahwa banyak putusan hakim yang cenderung “kontroversial”; jauh dari nilai-nilai keadilan. Tapi hal dapat menjadi alasan: mengapa penelitian-penelitian psikologi masih terbatas di bidang hukum.

Hukum merupakan aturan atau adat yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Setiap Negara mempunyai hukum yang diorientasikan dengan budaya, etnis, dan ras, yang finalnya nanti disepakati oleh kekuatan undang-undang pemerintahan.

Baca Juga: Inilah 8 Spot Mancing Ikan Kakap di Tegal, Tarikannya Bikin Deg-degan

Proses hukum melaksanakan undang-undang yang berpasal-pasal, begitu juga dengan para psikolog yang juga mempunyai kode-kode etik dalam membantu proses hukum.

Peran dari seorang praktisi hukum adalah salah satunya sebagai penegak keadilan untuk membantu masyarakat yang perilakunya telah melanggar
aturan pemerintah.

Membantu bukan seperti yang salah dibenarkan dan benar disalahkan, akan tetapi meluruskan
proses hukum sebagaimana aturan, kode etik, dan undang-undang pemerintahan.

Melihat efek-efek yang muncul dari perilaku (behaviour) dalam mengikuti gerak langkah berjalannya suatu peraturan perundang-undangan.

Baca Juga: Sejarah Stasiun Kereta Api Bumiayu Brebes, Dulu Hanya Sebuah Halte

Tidak hanya melihat pada benar salahnya peraturan. Psikologi hukum akan memberikan alternatif tentang perlunya pembaharuan undang-undang. Walaupun demikian kajian-kajian dalam psikologi hukum sangat menarik untuk dibahas khusunya dalam konteks hukum Indonesia.

Sudut pandang yang mengkaji hukum sebagai pengamat dari faktor dapat melihat dari kacamata psikologi hukum. Dari sini psikologi hukum sangat amat diperlukan eksistensinya, terutama dalam sistem hukum khususnya untuk para penegak hukumnya.***


Penulis:
Dosen Fakultas Hukum UPS Tegal
Dinar Mahardika, S.H.,M.H

Editor: Dewi Prima Mayasari


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah